KEBOHONGAN PASIEN – dalam Perspektif Hukum Positif

KEBOHONGAN PASIEN - dalam Perspektif Hukum Positif

Doctor Patient Trust - Klinik Grha Kumala Probolinggo

Keserasian antara kepentingan pasien dengan kepentingan dokter/profesional kesehatan lainnya merupakan salah satu unsur penting dalam menentukan kualitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu perlu mendapatkan prioritas.

Di satu sisi pasien menaruh kepercayaan pada kemampuan profesional dokter/ professional kesehatan lainnya, sedemikian sehingga pasien mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya  kepada dokter/ profesional kesehatan lainnya. Di lain pihak dokter/profesional kesehatan lainnya  harus memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien (Undang-Undang Republik Indonesia  No. 29 Tahun 2004 tentang Kesehatan pasal 51, 53 Jo. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien Pasal 26).

Akhir-akhir ini Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization – WHO) menetapkan Covid-19 sebagai virus yang sedang mewabah di seluruh dunia. Negara Kesatuan Republik Indonesia menetapkan Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat (Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2020). Berdasarkan data statistic, angka kasus Covid-19 di Indonesia mengalami lonjakan yang signifikan (ada pasien yang sembuh dan ada juga pasien yang meninggal dunia). Wiku Adisasmito Ketua Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan  Covid-19 menyatakan penyebab  banyak dokter dan perawat yang menangani pasien Covid-19 meninggal dunia akibat pasien yang tidak jujur (CNN Indonesia, 06/05/2020).

MARTABAT MANUSIA

Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang paling sempurna. Salah satu kesempurnaan manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain adanya akal dan nafsu. Selain itu ada kelebihan lain yang dimiliki oleh manusia sehingga membuat manusia berbeda dari sesama manusia yang lain yaitu hati. salah satu sifat hati adalah jujur.

Gnaeus Domitius Annius Ulpianus, pakar hukum Romawi memberikan tiga prinsip utama dalam hukum alam, yakniHoneste Vivere (hidup dengan jujur), Alterum Non Laedere (jangan merugikan orang lain di sekitarmu), dan Suum Cuique Tribuere (memberikan hak yang dimiliki orang lain). Tiga prinsip tersebut merupakan dasar moralitas manusia yang seharusnya tidak bisa ditawar oleh manusia untuk dikerjakan (Imperative Categories).

Prof. Dr. Koentjaraningrat antropolog terkemuka Indonesia menyebutkan beberapa mentalitas buruk manusia yang terus dipelihara dan diwariskan turun temurun pada generasi berikutnya antara lain: meremehkan mutu/kualitas, disiplin semu, tidak percaya diri dan mengabaikan tanggung jawab.

KEBOHONGAN PASIEN COVID-19 & AKIBAT HUKUMNYA

Penelitian yang dilakukan oleh University of Utah Health mengemukakan kebanyakan pasien berbohong kepada dokter yang memeriksanya dengan alasan menghindari dihakimi, malu untuk mengatakan yang sebenarnya dan tidak ingin diceramahi.

Kebohongan di dunia medis ternyata sangat tinggi. Kebohongan pasien kepada dokter/profesional kesehatan lainnya hanya  berpengaruh kepada dirinya sendiri jika penyakit itu tidak menular. Tetapi akan berdampak buruk tidak hanya menimpa pada diri pasien itu sendiri, termasuk dokter/profesional kesehatan lainnya yang memeriksa, dan pasien lain jika penyakit itu bersifat pandemis dan penyakit itu dibawa oleh pasien yang berbohong. 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 359 “barang siapa karena kesalahannya (kealpaanya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun”.

Jika pasal 359 KUHP ini digunakan untuk menjerat kebohongan pasien, maka kebohongan itu harus ada anasir; kelalaian (Culpa) dan bukti kematian orang lain yang disebabkan oleh kebohongan pasien. Jika anasir itu terpenuhi maka kebohongan pasien merupakan delik pidana, tetapi jika anasir; kelalaian (Culpa) dan bukti kematian orang lain itu tidak terpenuhi maka kebohongan pasien itu tidak termasuk delik pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 340 “barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lama dua puluh tahun”.

Jika pasal 340 KUHP ini kita gunakan untuk menjerat kebohongan pasien, maka kebohongan itu harus ada anasir; direncanakan (moord), dan bukti kematian orang lain yang disebabkan oleh kebohongan pasien. Jika anasir itu terpenuhi maka kebohongan pasien merupakan delik pidana, tetapi jika anasir; direncanakan (moord), dan bukti kematian orang lain itu tidak terpenuhi maka kebohongan pasien itu tidak termasuk delik pidana.

Hukum pidana kita menganut asas legalitas (Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ) artinya suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Maka ketika peraturan hukum kita tidak mengatur larangan berbohong dalam memberikan informasi kepada dokter/profesional kesehatan lainnya secara leterlijk maka tujuan hukum yang berupa kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan tidak akan tercapai.

dr. Kemal Fikar Muhammad, M.H.Kes.

  • dokter Klinik Grha Kumala Probolinggo
  • dosen Fakultas Hukum STAIM Probolinggo

Leave a Reply