dr. Eki Adetya Nugraha (dokter umum )
Apa penyakit Leptospirosis itu?
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Leptospira. Leptospirosis termasuk penyakit zoonosis, artinya penyakit ini ditularkan ke manusia melalui Binatang, sama seperti dengue fever (DF), dengue haemorragic fever (DHF), dan malaria.
Apakah Leptospirosis menular?
Ya. Leptospira ditularkan melalui hewan bertulang belakang seperti tikus, bajing, landak, musang, tupai, kucing, anjing, babi, sapi, kambing, kuda dan kerbau. Namun, tikus menjadi inang utama Leptospira dan berperan penting dalam penularan penyakit leptospirosis pada manusia. Penularan ke manusia terjadi melalui kontak dengan urin hewan terutama tikus yang terinfeksi Leptospira. Kontak tersebut dapat melalui luka terbuka maupun mukosa seperti kelopak mata, selaput lendir, dan hidung. Penularan antar manusia dapat terjadi melalui hubungan seksual dan dari ibu ke janin baik melalui plasenta maupun air susu ibu (ASI), walaupun hal tersebut jarang terjadi.
Bakteri Leptospira sendiri mampu hidup di tanah yang sesuai hingga 43 hari, bahkan di air selama berminggu-minggu, terutama pada suhu hangat (250C), tanah yang basah dan lembab, serta pH tanah 6,2-8. Kriteria ini menjadi ekosistem yang paling digemari oleh Leptospira sehingga kasus Leptospirosis sering muncul saat musim hujan atau setelah terjadinya bencana banjir besar. Leptospira bisa menginfeksi hewan terutama tikus dan bertahan pada tubuh hewan tersebut selama hidupnya tanpa menyebabkan sakit.
Bagaimana gejalanya dan adakah pemeriksaan khusus untuk Leptospirosis?
Leptospirosis mempunyai masa inkubasi berkisar 2-26 hari atau rata-rata 10 hari. Penderita leptospirosis pada fase septikemik/leptospiremik (hari ke-7) akan mengalami gejala seperti flu, yaitu demam, nyeri otot betis, paha, dan pinggang terutama bila ditekan, mual, serta muntah. Sedangkan pada fase imun ditandai dengan peningkatan kadar antibodi, demam (hingga 400C) disertai menggigil, lemah, nyeri pada leher, perut, dan otot kaki.
Namun, pada daerah endemis leptospirosis, sebagian besar infeksi tidak jelas secara klinis. Leptospirosis memiliki gejala klinis yang mirip dengan DF, DHF, malaria, dan tifoid sehingga diagnosis leprospirosis perlu didukung dengan hasil pemeriksaan laboratorium, seperti rapid diagnostic test (RDT), polymerase chain reaction (PCR), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan macroscopic slide agglutination test (MSAT). Diagnosis pasti leptospirosis ditegakkan dengan pemeriksaan microscopic agglutination test (MAT). Uji serologi skrining yang cepat dan praktis serta sering digunakan di Indonesia antara lain lepto dipstic assay, leptotek dri dot, dan leptotek lateral flow.
Apa pengobatan untuk leptospirosis?
Pengobatan leptospirosis berupa antibiotik dari golongan penisilin, streptomisin, tetrasiklin, atau eritromisin dengan lama pengobatan sekitar 7 hari. Menurut WHO, penderita leptospirosis akut dapat diobati dengan penisilin dosis tinggi, sedangkan penderita leptospirosis tidak akut dapat diobati dengan antibiotik oral seperti amoksilin, ampisilin, doksisiklin, atau eritromisin. Selain itu terapi suportif juga diperlukan jika ada komplikasi seperti gagal ginjal, perdarahan organ, syok, dan gangguan saraf.
Apakah leptospirosis merupakan wabah?
Saat ini tidak, namun tanpa upaya pencegahan, peningkatan jumlah kasus leptospirosis dapat terus meningkat hingga terjadi wabah. Satu bulan yang lalu, tepatnya di awal Maret 2023 media Indonesia digemparkan dengan kejadian leptospirosis di Pacitan yang kemudian meluas ke beberapa daerah di Jawa Timur seperti Probolinggo, Gresik, Malang, dan Lumajang. Hingga 5 Maret 2023 terdapat 249 kasus dengan 9 kasus kematian oleh leptospirosis yang tercatat Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Sebenarnya ini bukan wabah leptospirosis pertama. Kejadian Luar Biasa (KLB) leptospirosis biasanya muncul di musim hujan atau setelah bencana banjir besar. Angka kejadian leptospirosis di Indonesia juga sangat fluktuatif setiap tahunnya. Menurut data Kementrian Kesehatan, pada tahun 2016 kasus leptospirosis mencapai 830 kasus, lalu turun di 2017 menjadi 640 kasus, dan meningkat kembali di tahun 2018 menjadi 895 kasus. Adapun case fatality rate (CFR) atau jumlah orang yang meninggal dari jumlah orang sakit mencapai 16,88% di tahun 2017 dan 16,55% di tahun 2018. Dengan demikian, kita tetap harus mewaspadai penularan leptospirosis.
Bagaimana upaya pencegahan leptospirosis?
Pencegahan dan pengendalian penularan leptospirosis dapat dilakukan pada 3 aspek utama yaitu hewan sebagai reservoir penyakit, rute penularan, dan manusia sebagai incidental host. Pertama kita bisa melakukan pemberantasan hewan pengerat terutama tikus dari lingkungan dan jika memungkinkan memisahkan hewan peliharaan yang terinfeksi. Kedua, pada jalur penularan dapat dilakukan dengan cara membersihkan tempat yang kemungkinan besar menjadi habitat atau sarang tikus dan menghindari kontak dengan tikus atau urin tikus atau hewan lain yang berisiko menularkan leptospirosis. Terakhir, pencegahan dan pengendalian leptospirosis pada manusia dapat dilakukan dengan mengenakan alat pelindung diri ketika melakukan kontak dengan hewan terinfeksi dan genangan air terutama akibat banjir, menutup luka dengan balut kedap air, membersihkan diri setelah menangani hewan yang terinfeksi, tidak makan atau merokok selama menangani hewan terinfeksi, dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.